Ustadz Abdullah Zaen, M.A
Di suatu pagi, beberapa bulan lalu, penulis terlibat perbincangan dengan
sesama da'i seputar perkembangan dakwah salafiyyah di tanah air yang
cukup menggembirakan meski masih ada beberapa kekurangan di berbagai
lini. Di tengah-tengah perbincangan ringan tersebut, terlontar suatu
pertanyaan yang bersumber dari sebuah keprihatinan rekan penulis,
"Ustadz, bagaimana cara membuat Salafi memiliki semangat juang dakwah
tinggi seperti Ikhwah Tablighiyyun (Jama'ah Tabligh)?" Saat itu penulis
hanya diam dan tidak serta-merta menjawab pertanyaan tersebut. Lalu kami
tenggelam dalam pembicaraan masalah lainnya. Hingga selesailah majelis
tersebut, tanpa membahas jawaban dari pertanyaan tadi.
Permasalahan tersebut ternyata terus menggelayuti pikiran, dan
'menantang' untuk menemukan jawaban yang tepat dan berbobot. Apalagi
memang sebelumnya penulis beberapa kali pernah dihadapkan kepada
pertanyaan serupa. Sampai akhirnya tertuanglah tulisan ini, yang
sebenarnya merupakan jawaban dari pertanyaan di atas.
ANTARA AJARAN SALAF DAN SALAFIYYUN
Statemen 'Berakidah Salafi, Berakhlak Tablighi, Jalinan Ukhuwah Model
Ikhwani, Ketekun Ibadah Ala Sufi' sering dilontarkan sebagian kalangan
sebagai sebuah impian untuk mewujudkan karakteristik Muslim ideal,
menurut mereka tentunya. Tampaknya, salah satu pemicu munculnya ide ini
adalah fenomena praktek banyak pengikut beragam kelompok Islam yang
cenderung mengkonsentrasikan diri dalam pengamalan sebagian sisi ajaran
agama, dan kurang mengindahkan sisi lainnya. Sehingga timbullah ide
penggabungan 'kelebihan' masing-masing kelompok, guna menciptakan potret
sosok 'Muslim ideal'.
Yang jadi pertanyaan, perlukah melakukan kombinasi seperti di atas?
Tidak cukupkah manhaj Salaf membentuk seorang Muslim sejati ? Bukankah
manhaj Salaf (ajaran Ahlus Sunnah) adalah ajaran Islam itu sendiri,
sebagaimana dijelaskan Imam al-Barbahâri rahimahullah (w. 329 H)?[1]
Sehingga jika seorang telah bermanhaj Salaf secara totalitas; maka
otomatis ia akan menjadi Muslim ideal!
Tentunya jawaban para pembaca akan amat beragam; tergantung ideologi
yang dianut masing-masing. Mungkin akan ada yang menjawab, "Ya, kita
memerlukan inovasi tersebut! Untuk menciptakan sosok Muslim ideal, tidak
cukup hanya dengan bermanhaj Salaf! Sebab mereka yang menisbatkan
dirinya kepada manhaj Salaf tidak mencerminkan gambaran Muslim ideal!".
Argumentasi yang disampaikan tersebut mungkin bisa dibenarkan, karena
yang dijadikan obyek sorotan adalah individu yang menisbatkan diri pada
manhaj Salaf, yang belum tentu mencerminkan hakikat manhaj tersebut.
Namun jika yang dijadikan obyek sorotan adalah ajaran manhaj Salaf;
tentu argumen tersebut keliru. Sebab di antara sekian banyak ideologi
yang ada di lapangan, manhaj Salaflah yang haq; karena satu-satunya yang
mereprentasikan ajaran Islam yang benar. Saat ini bukan momennya untuk
membuktikan hal tersebut, para pembaca budiman yang merasa penasaran
bisa merujuk buku-buku yang ditulis khusus membahas permasalahan itu.[2]
Bila ada yang mengkritik dengan berkata, "Kalau memang manhaj Salaf
adalah Islam itu sendiri, mengapa banyak di antara mereka yang
menisbatkan diri kepada manhaj tersebut tidak bisa dijadikan contoh
potret muslim ideal?".
Maka dapat dijawab dengan pernyataan, "Ya, sebab tidak setiap orang yang
menisbatkan diri kepada manhaj Salaf, alias yang menamakan diri dengan
Salafi, berarti otomatis telah menerapkan manhaj tersebut secara total.
Sebagaimana tidak setiap orang yang menisbatkan diri kepada agama Islam,
alias mengaku sebagai seorang Muslim; otomatis sudah mempraktekkan
seluruh ajaran Islam. Jadi, yang bermasalah di sini adalah personalnya
(orangnya), bukan ajarannya.
Adapun kelompok-kelompok lain, dari sisi ajarannya sudah bermasalah,
maka tidak heran jika penganutnya pun juga banyak bermasalah. Sehingga
untuk memperbaikinya, minimal harus ada dua fase yang ditempuh; 1.
Meluruskan ajaran kelompok tersebut. 2. Membenarkan kekeliruan perilaku
pengikut kelompok itu. Sedangkan kekeliruan yang ada pada 'oknum'
Salafi, maka jalan pelurusannya hanya membutuhkan satu fase saja, yaitu
memperbaiki perilaku 'oknum' tersebut, tanpa perlu meluruskan ajarannya,
sebab ajarannya telah benar".
Sebagian kalangan mungkin tetap menyanggah, "Namun, bukankah tidak
seluruh ajaran kelompok-kelompok non Salafi dianggap salah?
Masing-masing juga memiliki kebenaran, meskipun itu hanya bersifat
parsial. Apa salahnya kelebihan-kelebihan tersebut diambil? Bukankah
dalam hadits telah disebutkan:
الْكَلِمَةُ الْحِكْمَةُ ضَالَّةُ الْمُؤْمِنِ فَحَيْثُ وَجَدَهَا فَهُوَ أَحَقُّ بِهَا
Kalimat hikmah adalah barang temuan seorang Mukmin. Di manapun ditemukan, dialah yang paling berhak untuk mengambilnya.[3]
Maka argumentasi itu dapat dijawab dengan, "Kita bukan sedang mengatakan
bahwa seluruh ajaran kelompok-kelompok tersebut salah, dan mereka sama
sekali tidak memiliki kebaikan. Namun, apakah kebaikan yang mereka
miliki tidak ada dalam ajaran Ahlus Sunnah yang mereprentasikan ajaran
Islam itu sendiri?
Menarik sekali untuk kita cermati apa yang dipaparkan Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) tatkala menjelaskan bahwa Ahlus sunnah
memiliki kelebihan-kelebihan yang dimiliki kelompok lain, bahkan
tingkatannya lebih sempurna. Dan bukan hanya itu, Ahlus sunnah juga
memiliki kelebihan-kelebihan yang tidak dimiliki berbagai kelompok
tersebut”.[4]
Dalam makalah singkat ini, insya Allâh akan dipaparkan penjelasan
tentang kesempurnaan manhaj Salaf yang meliputi seluruh aspek kehidupan,
termasuk di dalamnya hal yang berkaitan dengan akhlak, ukhuwah dan
ibadah yang muatannya jauh lebih sempurna dibandingkan konsep yang
dimiliki kelompok-kelompok lain.
MANHAJ SALAF DAN AKHLAK
Akhlak menempati kedudukan yang amat urgens di mata Ulama Salaf. Banyak
hal yang menunjukkan hal tersebut. Di sini, hanya akan diulas melalui
dua sudut tinjauan; teoritis dan praktek.
Dilihat dari tinjauan teoritis, sudah masyhur bahwa para Ulama Salaf
telah membukukan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
berisi akhlak dan adab. Sebagian menyelipkannya dalam kitab yang mereka
tulis dalam pembahasan hukum-hukum Islam, ada yang menulis buku khusus
yang memuat hadits-hadits dan pembahasan tentang akhlak, bahkan ada pula
yang memasukkan pembahasan akhlak dalam kitab akidah.
Sekedar contoh jenis pertama, Imam al-Bukhâri (w. 256 H) dalam kitabnya
Shahîh al-Bukhâri memuat lebih dari 250 hadits tentang akhlak. Imam Abu
Dâwud (w. 275 H) menulis sekitar 500-an hadits akhlak dalam kitab
Sunannya. Begitu pula Imam Ibnu Hibbân (w. 354 H) membawakan lebih dari
670 hadits dalam kitab Shahîhnya.
Contoh jenis kedua, kitab al-Adab al-Mufrad karya Imam al-Bukhâri (w.
256 H), Makârimul Akhlâq karya Imam Ibnu Abid Dun-ya (w. 281 H),
Akhlâqul -'Ulamâ' karya Imam al-Âjurri (w. 360 H), al-Âdâb
asy-Syar'iyyah karya Imam Ibn Muflih (w. 803 H) dan masih banyak contoh
lainnya.
Contoh jenis ketiga, pembahasan akhlak yang dimasukkan oleh Imam
ash-Shâbûni (w. 449 H) dalam kitabnya 'Aqîdatus Salaf Ash-hâb al-Hadîts,
Imam Ibn Taimiyyah (w. 728 H) dalam kitabnya al-'Aqîdah al-Wâsithiyyah,
juga yang lainnya. Ini menunjukkan betapa tinggi urgensi akhlak di mata
ulama Salaf dan adanya keterkaitan erat antara akidah dengan akhlak.
Untuk itu, mereka memasukkan pembahasan akhlak dalam kitab-kitab akidah.
Adapun ditinjau dari sisi praktek nyata dalam kehidupan ulama Salaf,
maka ini merupakan lautan tak bertepi. Bagi yang ingin mengetahui
sebagian dari potret indah tersebut, bisa menelaah kitab-kitab yang
ditulis untuk memaparkan biografi para ulama, semisal Hilyatul Auliyâ'
karya Imam Abu Nu'aim al-Ashbahâni (w. 430 H), Shifatus Shafwah karya
al-'Allamah Ibnul Jauzi (w. 597 H), Siyar A'lâmin Nubalâ' karya Imam
adz-Dzahabi (w. 748 H) dan lain-lain. Niscaya kita akan menjumpai
keajaiban dan kemuliaan akhlak mereka di dalamnya!
Kelebihan manhaj Salaf dalam masalah akhlak amatlah banyak. Di
antaranya, perhatian mereka terhadap akhlak mulia tidak mengakibatkan
terkesampingkannya dakwah terhadap inti agama yakni akidah. Bahkan
mereka tetap memprioritaskan dakwah tauhid, namun sambil dikemas dan
disampaikan dengan akhlak mulia. Dalam hal ini dan yang lainnya, mereka
meneladani Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Selama belasan tahun,
beliau berkonsentrasi mendakwahkan akidah, sambil menghiasinya dengan
akhlak mulia.
Dengan mencermati kelebihan manhaj Ahlus Sunnah dalam masalah akhlak
ini, kita bisa membaca kelemahan manhaj akhlak yang diusung teman-teman
Jama'ah Tabligh. Perhatian ekstra mereka terhadap pembentukan akhlak
mulia, seringkali mengakibatkan terkesampingkannya pembenahan akidah
dalam sorotan dakwah mereka. Bahkan terkadang mereka cenderung
menghindarkan diri untuk membahas permasalahan akidah dengan alasan
khawatir masyarakat menjauh. Tentunya ini merupakan kekeliruan yang
tidak bisa dianggap remeh.
Padahal, jika penyampaian akidah dikemas dengan akhlak mulia; tentu akan
lebih mudah diterima umat. Andaikan metode ini telah ditempuh lalu
dakwah tidak diterima juga dan sang da'i dijauhi sebagian masyarakatnya;
maka itu sudah merupakan salah satu resiko para penyeru kebenaran.
Lihatlah bagaimana sosok yang paling sempurna akhlaknya; Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap menghadapi tantangan berat dalam
berdakwah.
MANHAJ SALAF DAN UKHUWAH
Ukhuwah Islamiyah merupakan salah satu poin pembahasan yang mendapatkan
perhatian ekstra dalam Manhaj Salaf. Banyak sisi yang menunjukkan hal
tersebut. Di antaranya pemaparan urgensi ukhuwah saat para ulama Salaf
menafsirkan ayat-ayat al-Qur'ân yang berisikin motivasi untuk merajut
dan menjaga tali ukhuwah sesama kaum Muslimin. Juga saat mereka mengupas
dan menjabarkan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
berisikan permasalahan serupa. Para pembaca bisa temukan hal itu dalam
beragam kitab tafsir semisal Tafsîr ath-Thabari, Tafsîr al-Baghawi,
Tafsîr Ibn Katsîr dan yang lainnya. Juga berbagai kitab syurûh
al-ahâdîts (kitab penjabar hadits) seperti Syarh as-Sunnah karya Imam
al-Baghawi (w. 516 H), Syarh Shahîh Muslim karya Imam an-Nawawi (w. 676
H), Fathul Bâri Syarh Shahîhil Bukhâri karya al-Hâfizh Ibnu Hajar
al-'Asqalani (w. 857 H) dan lain-lain.
Sisi lain yang mengungkapkan perhatian manhaj Salaf terhadap peretasan
ukhuwah di antara kaum Muslimin, pemaparan para ulama Salaf dalam kitab
akidah yang mereka tulis tentang faktor-faktor yang dapat mengeratkan
ukhuwah, juga peringatan mereka dari berbagai sebab pemicu kerenggangan
ukhuwah.
Contoh jenis pertama, motivasi untuk menyolati dan mendoakan kaum
Muslimin yang meninggal dunia, walaupun mereka adalah pelaku dosa kecil
maupun besar, selama itu bukan kekufuran. Sebagaimana disebutkan Imam
Ahmad bin Hanbal rahimahullah (w. 219 H) dalam kitabnya, Ushûl
as-Sunnah. Pengamalan adab di atas dan yang lainnya tentu akan berdampak
besar bagi terajutnya ukhuwah di antara kaum Muslimin.
Contoh jenis kedua, peringatan dari praktek adu domba, dusta,
menggunjing dan perbuatan zhalim lainnya yang bisa merenggangkan (bahkan
memutus) ukhuwah antar kaum Muslimin, sebagaimana dipaparkan Imam
al-Muzani rahimahullah (w. 264 H) dalam kitabnya Syarhus Sunnah.
Keunggulan manhaj Salaf dalam bab ukhuwah terlihat dari tidak
dikesampingkannya sisi ajaran Islam lainnya, seperti praktek amar makruf
nahi munkar, saat berupaya membentuk jalinan ukhuwah. Dan ini jelas
merupakan keistimewaan dalam pola beragama, dimana penerapan sebagian
ajaran syariat tidak mengakibatkan terbengkalainya sebagian ajaran
syariat yang lain. Sehingga muncullah keseimbangan dan kesempurnaan
dalam beragama.
Adapun konsep ukhuwah yang diusung Ikhwânul Muslimîn (IM), memiliki
kelemahan dari sisi 'dikesampingkannya' aktifitas amar makruf nahi
munkar guna mewujudkan ukhuwah tersebut. Kelemahan tersebut bersumber
dari teori ukhuwah yang diciptakan pendiri IM, Hasan al-Banna
rahimahullah , yang berbunyi: "Saling bekerjasama dalam hal yang
disepakati, dan saling bertoleransi dalam perbedaan".
Teori ini terdiri dari dua bagian; bagian pertama benar, bagian kedua
perlu dirinci lebih lanjut. Perbedaan dalam permasalahan ijtihâdiyyah
bisa ditolerir. , Adapun perbedaan dalam permasalahan yang tidak ada
ruang ijtihâd di dalamnya (semisal akidah, red), maka ini tidak bisa
ditolerir. Demikian penjelasan yang disampaikan Syaikh al-'Utsaimin
rahimahullah.[5]
Adapun mempraktekkan bagian kedua dari teori ukhuwah di atas secara
mutlak; maka beresiko lumpuhnya praktek amar ma'ruf nahi munkar yang
merupakan salah satu pondasi tegaknya agama Islam ini. Di antara
indikasi diterapkannya teori ini secara mutlak oleh banyak kalangan IM;
kalimat yang diteriakkan salah satu tokoh besar IM saat berorasi di
depan massa ketika terjadi 'peperangan' antara Hizbullâh dengan Israel;
"Musuh Sunni bukan Syi'ah, dan musuh Syi'ah bukan Sunni!". (Hanya kepada
Allâh Azza wa Jalla sajalah kita mengadu…)
Padahal sejatinya, tidaklah ada kontradiksi antara penerapan ukhuwah
dengan penegakan amar ma'ruf nahi munkar; sebab keduanya merupakan
bagian syariat Islam dan syariat Islam tidak mungkin saling
bertentangan. Alangkah baiknya kita cermati susunan ayat 104 dan 105
dari surat an-Nisa. Ayat pertama berisikan perintah untuk amar ma'ruf
nahi munkar, sedangkan ayat kedua berisikan larangan untuk berpecah
belah. Diiringinya ayat perintah amar makruf nahi mungkar dengan ayat
larangan berpecah belah mengisyaratkan bahwa penerapan amar makruf nahi
mungkar tidaklah beresiko menimbulkan perpecahan dan kerenggangan
ukhuwah Islamiyyah.[6]
Barangkali ada yang menganggap tidak mungkin penegakan amar ma'ruf nahi
mungkar berhasil tanpa menimbulkan kerenggangan ukhuwah. Karena amar
ma'ruf nahi munkar itu merupakan bentuk usaha meluruskan kekeliruan yang
seringkali tidak diterima oleh pelakunya.
Jawabannya, sangat mungkin tidak menimbulkan gesekan, jika amar ma'ruf
nahi munkar dilakukan dengan lemah lembut dan memperhatikan skala
prioritas dalam pengingkaran [7] , juga jika sambil diiringi pemenuhan
hak-hak sesama Muslimin, seperti menebarkan salam, menengok yang sakit,
bertakziyah ketika ada musibah dan yang lainnya [8] .
MANHAJ SALAF DAN IBADAH
Ibadah mendapatkan kedudukan yang sangat tinggi dalam manhaj Salaf. ,
Bagaimana tidak? Lantaran tujuan utama penciptaan manusia dan jin adalah
untuk menegakkan ibadah kepada Allâh Azza wa Jalla.
Banyak hal yang menunjukkan hal di atas. Di antaranya: kitab-kitab
hadits yang di dalamnya para ulama Salaf menyisipkan pembahasan khusus
yang berisikan motivasi untuk rajin beribadah. Contohnya antara lain:
kitâb ar-riqâq dalam Shahîh al-Bukhari, kitâb az-zuhd wa ar-raqâ'iq
dalam Shahîh Muslim, abwâb az-zuhd dalam Sunan at-Tirmidzi dan masih
banyak lainnya.
Bahkan tidak sedikit ulama Salaf yang menulis buku khusus yang berisikan
motivasi untuk beribadah dan peringatan dari melalaiannya, semisal
at-Targhîb wa at-Tarhîb karya Imam al-Mundziri (w. 656 H), al-Matjar
ar-Râbih fî Tsawâb al-'Amal ash-Shâlih karya al-Hâfizh ad-Dimyâthi (w.
705 H), dan yang lainnya.
Ini sisi pemaparan teori, adapun sisi prakteknya; maka sejarah kehidupan
para Ulama Salaf dipenuhi dengan potret keseriusan dan ketekunan mereka
dalam beribadah. Silahkan ditelaah buku-buku biografi para ulama yang
telah penulis sebutkan beberapa contohnya di depan.
Keistimewaan manhaj Salaf dalam bab ibadah terlihat, antara lain melalui
penggabungan antara unsur ikhlas dan mutâba'ah (meneladani Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) dalam beribadah, dua perkara yang
merupakan syarat diterimanya suatu amalan. Kelebihan lain juga dapat
disaksikan dari keseimbangan dalam memperhatikan tiga pondasi ibadah;
rasa takut, rasa harap dan kecintaan terhadap Allah.
Adapun metode ibadah yang diusung kaum Sufi, memiliki berbagai 'catatan
merah'. Antara lain, kurang diperhatikannya faktor mutaâba'ah
(meneladani petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
beribadah), sehingga mereka kerap hanyut dalam ibadah-ibadah yang tidak
ada tuntunannya dalam Islam (baca: bid'ah). Juga di antara kekurangan
metode Sufi dalam beribadah, ketimpangan dalam mempraktekkan pondasi
ibadah. Banyak di antara mereka cenderung hanya menekankan sisi
kecintaan pada Allâh Azza wa Jalla , lalu mengesampingkan' rasa takut
akan neraka dan harapan memperoleh surga.
PENUTUP
Semoga makalah singkat ini bisa sedikit menggambarkan kesempurnaan
manhaj Salaf beserta kelebihan-kelebihannya. Harapan lain, semoga
tulisan ini bisa dijadikan sebagai wahana instrospeksi diri, baik oleh
Salafiyyun maupun para pengikut kelompok lain. Bagi Salafiyyun yang
belum menerapkan manhaj Salaf secara total hendaknya mereka bergegas
memperbaiki diri guna meraih keselamatan dunia dan akhirat, juga agar
mereka bisa menjadi contoh dan suri teladan dalam penerapan Islam yang
benar, sehingga tidak menjadi pintu penghalang masuknya kaum Muslimin ke
dalam manhaj Salaf.
Adapun bagi para pengikut kelompok lain, hendaklah mereka segera
membenahi diri dan ajaran kelompoknya. Pemaparkan berbagai sisi
kelemahan ajaran kelompok-kelompok tersebut di atas, insya Allâh tidak
bertujuan kecuali sebagai bentuk upaya nasehat. “Aku tidak bermaksud
kecuali (mengadakan) perbaikan semampuku. Dan tidak ada taufiq bagiku
melainkan dengan (pertolongan) Allah”. [Hûd: 88]. Wallâhu a'lam
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XIV/1431H/2010.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
Ustadz Abdullah Zaen, M.A
http://almanhaj.or.id/
_______
Footnote
[1]. Lihat Syarhus Sunnah dalam Irsyâd as-Sâri fî Syarhis -Sunnah li al-Barbahâri oleh Syaikh Ahmad an-Najmi (hlm. 26)
[2]. Contohnya seperti: Fadhl 'Ilm as-Salaf 'alâ al-Khalaf karya Imam
Ibn Rajab, Limâdzâ Ikhtartu al-Manhaj as-Salafî karya Syaikh Salîm
al-Hilâli dan Irsyâdul Bariyyah ilâ Syar'iyyati -Intisâb ilâs Salafiyyah
karya Syaikh Hasan ar-Rîmi
[3]. HR. at-Tirmidzi dari Abu Hurairah. Beliau menyatakan hadits ini "gharîb" dan Syaikh al-Albâni menilainya lemah sekali
[4]. Lihat Majmû' al-Fatâwâ (IV/24)
[5]. Lihat: Zajr al-Mutahâwin, Hamd al-'Utsmân hlm. 129
[6]. Silahkan lihat al-Hatstsu 'alâ al-I'tishâm bi Dînillâh wa Ijtimâ' al-Kalimah, Syaikh Ibrâhîm ar-Ruhaili hlm. 4
[7]. Ash-Shahwah al-Islâmiyyah , Syaikh al-'Utsaimin hlm. 119
[8]. Lihat al-Hatstsu 'alâ al-I'tishâm bi Dînillah hlm. 3-5