MAJALAH HIDAYATULLAH. Bagi penggemar musik Rock, nama Yuke sudah tak asing lagi. Pria yang
bernama asli Yuke Sumeru ini merupakan bassis (pemain bas) terkenal yang
tergabung dalam grup band “Gong 2000”. Namanya melejit dimulai sejak ia
menyabet gelar pemain bas terbaik di Indonesia pada sebuah festival
musik tahun 1983 dan 1985. Dari situlah ia banyak berkenalan dengan
insan musik, hingga akhirnya dilamar oleh grup band yang diawaki antara
lain oleh rocker Ahmad Albar.
Ketenaran yang melambung dan kekayaan yang berlimpah ternyata
membuatnya gelisah. Di saat seperti itu, Yuke memanjatkan doa penuh
khusyuk di depan Ka’bah saat menunaikan ibadah haji tahun 2000. “Ya
Allah, ambillah segala sesuatu yang tidak Engkau sukai dari diriku,”
panjat Yuke.
Menurut Yuke, semenjak memanjatkan doa itu, tak seberapa lama ia
merasa mual tiap kali menghisap rokok kesukaannya. Walhasil, ia pun
berhenti merokok. “Saya juga merasa tidak nyaman tiap kali bersentuhan
dengan alat musik,” akunya kepada Suara Hidayatullah di kediamannya,
Bintaro, Jakarta Selatan, awal September lalu.
Yuke semakin meresapi nilai-nilai Islam, terutama setelah bergabung
dengan aktivitas Jamaah Tabligh. Suatu hari saat dalam kegiatan jamaah
itu, Yuke bertemu dengan masyaikh (guru) yang sehari-hari berbicara
dalam bahasa Arab. “Saya jengkel tidak bisa berkomunikasi dengan para
syaikh,” akunya. Namun dari kejadian itu, Yuke lalu mendaftar ke salah
satu perguruan tinggi swasta untuk belajar tahsin dan mendalami ilmu
al-Qur`an.
Penuh Cobaan
Menurut pria yang lahir di Bandung, 18 Oktober 1958 ini, ia pun berusaha
untuk menutup diri dari pergaulan dunia musiknya. Salah satu caranya
dengan mengganti nomor telepon pribadi. “Agar saya bisa fokus belajar
agama,” kata Yuke yang meyakini pengaruh lingkungan sangat penting dalam
perubahan seseorang. Alhamdulillah, pada tahun 2004, Yuke berhasil
menyandang gelar Sarjana al-Qur’an (SQ), bahkan terus menyelesaikan
gelar master di kampus yang sama. Tak cuma itu, aku Yuke, ia pun telah
menghafal 30 juz al-Qur`an.
Tentu saja menjalani proses hijrah itu bukan tanpa cobaan, salah
satunya masalah finansial. Dari bermusik ia bisa mengantongi jutaan
rupiah. Tapi semua itu terhenti setelah ia memilih jalan dakwah. Banyak
pihak yang mengkritik atas pilihan hidupnya itu. Tapi Yuke tak putus
asa. “Urusan hijrah saya ini adalah urusan saya dengan Allah, bukan
dengan manusia,” Yuke berupaya tegar.
Syukurnya, sejak muda ia sudah mulai membuka usaha bengkel
modifikasi mobil. Sehingga urusan finansial sedikit bisa teratasi. Ia
lebih bersyukur lagi karena istrinya selalu mendukung keputusannya.
Dengan penuh kasih sayang, Yuke kerap menjelaskan, “Yakinlah bahwa Allah
tidak mungkin meninggalkan orang yang berjuang di jalan-Nya.”
Bahkan, meski tidak bermusik lagi, ia justru merasakan banyak
keberkahan. “Alhamdulillah, walau pendapatan lewat musik tidak ada,
tapi keberkahan Allah selalu mencukupi setiap kebutuhan keluarga. Lagi
pula, saya juga tidak mencukupi kebutuhan primer keluarga dari musik
sejak dulu. Saya punya bisnis sendiri,” jelasnya.
Dakwah di Kalangan Dhuafa
Usai menyandang gelar master, Yuke berkomitmen menjadi pegawai Allah.
Dalam kartu namanya pun, bukan status usaha otomotif yang ia cantumkan,
melainkan tertulis “Pegawai Allah.” Tak lama setelah bertekad dengan
hal itu, datang tawaran berceramah di sebuah mushalla kecil yang berada
di daerah Tambun, Bekasi, Jawa Barat. Sebagai konsekuensi dari statusnya
itu, Yuke berangkat memenuhi undangan.
Meski tak dapat uang, tapi Yuke menikmati aktivitas ini. Ia mengaku
sering menolak undangan dari perusahaan besar demi berceramah di
mushalla-mushalla kecil. Menurut alumnus SMA 4 Surabaya, Jawa Timur ini,
banyak ustadz yang tidak mau datang ke mushalla kecil karena hanya
menyediakan uang transportasi yang kecil bahkan ada yang gratis.
“Padahal, tempat-tempat seperti itu justru rentan pemurtadan,” katanya.
Dari situ Yuke semakin terpanggil untuk berdakwah di daerah miskin.
Bahkan, keuntungan yang ia dapatkan dari usaha bengkel mobilnya sebagian
disisihkan untuk dakwah. Ia tidak mencari donatur, tapi Yukelah yang
menjadi donaturnya. Yuke berdakwah menyusuri daerah sekitar Bintaro,
Serpong, hingga Lebak Bulus.
Ia menetapkan tiga kampung pemulung sebagai garapan dakwahnya.
Sebelum berdakwah, Yuke mengumpulkan informasi berkaitan pendapatan yang
diterima para pemulung. Setiap hari pendapatan mereka antara Rp 20.000
hingga Rp 50.000. Alhasil tiap kali berdakwah di sana, Yuke membawa
sekantong amplop yang isinya uang sesuai pendapatan para pemulung.
“Sebelum pengajian itu dimulai, para pemulung itu saya kasih amplop agar
mereka fokus mengaji dan tidak risau dengan pendapatan hari itu,”
jelasnya.
Akhirnya, keluarganya mulai terbiasa dengan gaya hidup baru Yuke.
Kata Yuke, inilah kekayaan penting yang selama ini dicarinya, kekayaan
yang terjaga oleh keridhaan Allah.
Kini, Yuke mengasuh 50 orang anak yang ia tempatkan di rumahnya di
Kota Bogor, Jawa Barat. Di tempat itu, mereka disekolahkan dan dibina
keislamannya. “Semoga kelak mereka tumbuh menjadi Muslim yang kuat
akidah dan keilmuannya,” harap Yuke yang selalu mengulang-ulang hafalan
al-Qur’annya.
Saat ini, ia juga telah membangun sebuah masjid di lokasi pemulung di
Bintaro. Rencananya ia juga ingin membangun masjid di semua titik
pemulung yang dijadikan ladang dakwahnya. Ia begitu prihatin dengan
kondisi mereka yang tidak memiliki fasilitas ibadah.
Setiap hari, kini Yuke selalu bergelut dengan dakwah. Kepada
anak-anak muda, ia selalu menasihati bahwa musik adalah hal yang bisa
melalaikan perintah agama. “Makanya banyak orangtua yang menitipkan
anak-anak mudanya pada saya untuk dibina,” ujar Yuke. Semua itu ia
lakukan dengan senang hati, termasuk saat menerima konsultasi melalui
telepon genggamnya.
Yuke mengaku ingin hadir di setiap relung hati umat. Ia ingin dekat
dengan setiap kegelisahan banyak orang. Ia belajar menjadi obat yang
mencerahkan dan memotivasi. “Dari tiap kedekatan itu, saya berharap bisa
mengingatkan banyak orang yang belum hijrah untuk mengerti arti dari
keutamaan Islam,” tekad Yuke.* Thufail Al-Ghifari/Suara Hidayatullah
OKTOBER 2012