Sebuah tulisan yang sangat bagus untuk menjadi renungan kita bersama. Ana kutip dari dakwatuna.com. Sebuah pesan bagi aktivis dakwah yang dipimpin oleh saudara yang lebih junior darinya, dari berbagai sisi.
Harakah dakwah berbeda dengan organisasi biasa. Seseorang yang pernah ditempatkan di posisi puncak, tidak berarti tidak boleh ditempatkan di posisi bawah pada suatu waktu yang lain. Keberadaan kita pada suatu posisi dakwah, hanyalah suatu penempatan yang disesuaikan dengan kebutuhan dakwah pada waktu itu. Ketika kita dibutuhkan berada di depan, kita laksanakan tugas itu dengan sebaik-baiknya. Ketika kita dibutuhkan berada di barisan belakang, maka tidak ada perbedaan sikap dalam menjalaninya.
Memang di dalam dakwah tidak ada prinsip senior junior maupun jenjang karir. Yang diajarkan oleh Islam kepada kita adalah menempati posisi manapun yang ditunjukkan oleh pemimpin kita dalam amanah dakwah ini. Berada di barisan depan atau di belakang bukanlah hal yang penting. Yang terpenting adalah kita berbuat untuk dakwah menegakkan kalimah tauhid sesuai kapasitas kita dan disatukan serta diatur dalam suatu barisan yang teratur.
Rasulullah bersabda dalam hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari, “ Berbahagialah seorang hamba yang memegang kendali kudanya, kusut masai rambutnya dan berdebu kakinya. Jika berjaga ia tetap berjaga. Jika bertugas di belakang ia tetap di belakang. Ketika meminta izin tidak diberi izin dan ketika memberi bantuan tidak diperkenankan.”
Selamat
bagi siapa saja yang tidak mengagungkan dirinya di jalan Allah. Yang
dengan ilmunya ia tidak menghendaki kedudukan, jabatan, ketenaran atau
harta benda. Sikap ini harus selalu
ada dalam diri setiap orang yang bekerja untuk Islam. Bahkan termasuk
hal utama yang harus dipelajari seseorang ketika mulai menempuh jalan
dakwah tersebut.
Ini
bukan berarti seseorang harus merahasiakan kemampuannya, mengubur
bakatnya dan mengebiri ide-idenya. bahkan seharusnya seorang aktivis
mengoptimalkan potensinya dan kemampuan intelektual, fisik serta
hartanya yang diberikan Allah kepadanya untuk menegakkan Islam.
Realita
sirah Nabi sangat sarat dengan contoh-contoh ideal. Seperti usulan
Hubab bin Mundzir kepada Nabi saw untuk memindah kamp tentara Islam
dalam perang Badar. Kendatipun tempat yang semula adalah pilihan Nabi
saw sendiri. Ini tidak membuatnya menahan gagasannya setelah ia
memastikan bahwa pendapat Nabi itu semata-mata pertimbangan
manusiawinya, bukan bersumber dari wahyu Allah. Maka tidak ada pilihan
lain bagi Nabi selain menerima pendapat tersebut lalu beliau memindahkan
kamp tentara. Ternyata, ini menjadi salah satu faktor kemenangan kaum
Muslimin dalam perang tersebut.
Ini
satu sisi, sisi lain ya akhi, bahwa Sirah juga menjelaskan kepada kita
agar ketika menilai seseorang dalam kerja jihad dan dakwah, seharusnya
tidak menggunakan neraca duniawi, sebagaimana lazimnya digunakan
banyak orang terhadap suatu tugas, pekerjaan dan jabatan. Pertimbangan
usia, level pendidikan, kedudukan dan kekuatan fisik mestinya tidak
dijadikan sebagai skala prioritas dan tidak dijadikan sebagai penentu
keputusan. Ada hal-hal lain yang mestinya diprioritaskan seperti
ketakwaan, keikhlasan, kemampuan menyelesaikan tugas sebagaimana yang
diharapkan, pengetahuan terhadap hukum-hukum syar’i, khususnya yang
berkaitan dengan tuags yang diembannya. Disamping itu ia juga memiliki
pemahaman segala aturan main yang diberlakukan oleh suatu organisasi,
partai atau gerakan dimana ia berafiliasi kepadanya.
Kita
tahu bagaimana Nabi saw memilih para pemimpin dan panglima. Yang
intinya beliau mampu memberdayakan potensi dan menempatkan posisi
dengan sangat baik sehingga memberikan kontribusi positif bagi Islam
dan kaum Muslimin. Beliau mengangkat Khalid bin Walid –kendatipun masuk
Islamnya belakangan- sebagai seorang panglima di beberapa operasi
militer. Padahal yang dipimpinnya para sahabat senior dalam Islam dan
jihad. Demikian pula ketika beliau mengangkat Usamah bin Zaid yang
umurnya belum genap tujuh belas tahun sebagai panglima perang, diantara
pasukannya terdapat banyak sahabat yang lebih tua dan lebih senior
dalam Islam.
Rasulullah
tidak mempertimbangkan senioritas dalam Islam dan jihad maupun usia.
Beliau melihat potensi dan kemampuan dalam menyelesaikan tugas dengan
baik dengan hasil yang diridhai Allah dan bermanfaat bagi Islam dan
kaum Muslimin.
Rasulullah
juga menjadikan Bilal sebagai tukang azan karena suaranya yang merdu.
Mengangkat Hasan bin Tsabit sebagai penyair Islam yang berjuang membela
agama dan syariah. Bahkan beliau juga memotivasinya dan memberi berita
gembira kepadanya tentang dukungan Ruhul Qudus, malaikat Jibril
kepadanya. Kendatipun Hasan sendiri tidak ikut terlibat di medan
perang. Namun ia berjihad dengan lisan dan syairnya. Nabipun telah
ridha kepadanya dengan model perjuangannya ini bahkan berterima kasih
kepadanya.
Rasulullah
juga tidak mau basa basi kepada seseorang demi kemaslahatan umum,
terutama dalam memilih pimpinan. Lihatlah akhi, bagaimana Abu Dzar yang
meminta Nabi agar diangkat sebagai salah satu pimpinan. Dan kendatipun
Nabi sangat mencintainya, beliau pun menjawab seraya menepuk
pundaknya, “Abu Dzar, kamu ini orang lemah. Jabatan itu amanah. Dan
pada hari Kiamat nanti ia menyebabkan kehinaan dan penyesalan. Kecuali
orang yang dapat menunaikan haknya dan menjalankan tugasnya” (Muslim)
Disini Nabi saw meringkas kaidah penting dengan dua kata, menunaikan haknya (haqqiha) dan menjalankan tugasnya (adda al-ladzi alaihi fiiha). Betapa mulia Rasulullah dan betapa cerdasnya panglima ulung ini, salawat dan salam untuknya.