Ridho dengan Taqdir Allah,
Berkata ‘Alqamah: “Yaitu
seseorang yang ditimpa suatu musibah lalu dia mengetahui bahwasanya
musibah tersebut dari sisi Allah maka dia pun ridha dan menerima
(berserah diri kepada-Nya).”
Sabar terhadap Taqdir Allah
Diantara
jenis sabar adalah sabar terhadap taqdir Allah. Hal ini berkaitan
dengan tauhid Rububiyyah, karena sesungguhnya pengaturan makhluk dan
menentukan taqdir atas mereka adalah termasuk dari tuntutan Rububiyyah
Allah Ta’ala.
Perbedaan antara Al-Qadar & Al-Maqduur
Qadar
atau taqdiir mempunyai dua makna. Yang pertama: al-maqduur yaitu
sesuatu yang ditaqdirkan. Yang kedua: fi’lu Al-Muqaddir yaitu
perbuatannya Al-Muqaddir (Allah Ta’ala). Adapun jika
dinisbahkan/dikaitkan kepada perbuatannya Allah maka wajib atas manusia
untuk ridha dengannya dan bersabar. Dan jika dinisbahkan kepada
al-maqduur maka wajib atasnya untuk bersabar dan disunnahkan ridha.
Contohnya
adalah: Allah telah menaqdirkan mobilnya seseorang terbakar, hal ini
berarti Allah telah menaqdirkan mobil tersebut terbakar. Maka ini adalah
qadar yang wajib atas manusia agar ridha dengannya, karena hal ini
merupakan diantara kesempurnaan ridha kepada Allah sebagai Rabb. Adapun
jika dinisbahkan kepada al-maqduur yaitu terbakarnya mobil maka wajib
atasnya untuk bersabar dan ridha dengannya adalah sunnah bukan wajib
menurut pendapat yang rajih (kuat).
Sedangkan
al-maqduur itu sendiri bisa berupa ketaatan-ketaatan,
kemaksiatan-kemaksiatan dan kadang-kadang merupakan dari perbuatannya
Allah semata. Adapun yang berupa ketaatan maka wajib ridha dengannya,
sedangkan bila berupa kemaksiatan maka tidak boleh ridha dengannya dari
sisi bahwasanya hal itu adalah al-maqduur, adapun dari sisi bahwasanya
itu adalah taqdir Allah maka wajib ridha dengan taqdir Allah pada setiap
keadaan, dan karena inilah Ibnul Qayyim berkata: “Maka karena itulah
kita ridha dengan qadha` (ketentuan Allah) dan kita marah terhadap
sesuatu yang ditentukan apabila berupa kemaksiatan.”
Maka
barangsiapa yang melihat dengan kacamata Al-Qadha` wal Qadar kepada
seseorang yang berbuat maksiat maka wajib atasnya ridha karena
sesungguhnya Allahlah yang telah menaqdirkan hal itu dan padanya ada
hikmah dalam taqdir-Nya. Dan sebaliknya apabila dia melihat kepada
perbuatan orang tersebut maka tidak boleh ridha dengannya karena
perbuatannya tadi adalah maksiat. Inilah perbedaan antara al-qadar dan
al-maqduur.
Bagaimana Manusia Menghadapi Musibah?
Di dalam menghadapi musibah, manusia terbagi menjadi empat tingkatan:
Pertama: marah,
yaitu ketika menghadapi musibah dia marah baik dengan hatinya seperti
benci terhadap Rabbnya dan marah terhadap taqdir Allah atasnya, dan
kadang-kadang sampai kepada tingkat kekufuran, Allah berfirman:
وَمِنَ
النَّاسِ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ عَلَى حَرْفٍ فَإِنْ أَصَابَهُ خَيْرٌ
اطْمَأَنَّ بِهِ وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ انْقَلَبَ عَلَى وَجْهِهِ
خَسِرَ الدُّنْيَا وَالآخِرَةَ ذَلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ
“Dan
diantara manusia ada orang yang beribadah kepada Allah dengan berada di
tepi; maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu,
dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang.
Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian
yang nyata.” (Al-Hajj:11)
Atau
dia marah dengan lisannya seperti menyeru dengan kecelakaan dan
kebinasaan dan yang sejenisnya. Atau marah dengan anggota badannya
seperti menampar pipi, merobek saku baju, menarik-narik (menjambak)
rambut, membenturkan kepala ke tembok dan yang sejenisnya.
Kedua: sabar, yaitu sebagaimana ucapan penyair:
الصَّبْرُ مِثْلُ اسْمِهِ مُرٌّ مَذَاقَتُهُ لَكِنْ عَوَاقِبُهُ أَحْلَى مِنَ الْعَسَلِ
“Sabar itu seperti namanya, pahit rasanya, akan tetapi akibatnya lebih manis dari madu.”
Maka
orang yang sabar itu akan melihat bahwasanya musibah ini berat baginya
dan dia tidak menyukainya, akan tetapi dia membawanya kepada kesabaran,
dan tidaklah sama di sisinya antara adanya musibah dengan tidak adanya,
bahkan dia tidak menyukai musibah ini akan tetapi keimanannya
melindunginya dari marah.
Ketiga: ridha,
dan ini lebih tinggi dari sebelumnya, yaitu dua perkara tadi (ada dan
tidak adanya musibah) di sisinya adalah sama ketika
dinisbahkan/disandarkan terhadap qadha dan qadar (taqdir/ketentuan
Allah) walaupun bisa jadi dia bersedih karena musibah tersebut, Karena
sesungguhnya dia adalah seseorang yang sedang berenang dalam qadha dan
qadar, kemana saja qadha dan qadar singgah maka dia pun singgah
bersamanya, baik di atas kemudahan ataupun kesulitan. Jika diberi
kenikmatan atau ditimpa musibah, maka semuanya menurut dia adalah sama.
Bukan karena hatinya mati, bahkan karena sempurnanya ridhanya kepada
Rabbnya, dia bergerak sesuai dengan kehendak Rabbnya.
Bagi
orang yang ridha, adanya musibah ataupun tidak, adalah sama, karena dia
melihat bahwasanya musibah tersebut adalah ketentuan Rabbnya. Inilah
perbedaan antara ridha dan sabar.
Keempat: bersyukur,
dan ini adalah derajat yang paling tinggi, yaitu dia bersyukur kepada
Allah atas musibah yang menimpanya dan jadilah dia termasuk dalam
golongan hamba-hamba Allah yang bersyukur ketika dia melihat bahwa di
sana terdapat musibah yang lebih besar darinya, dan bahwasanya
musibah-musibah dunia lebih ringan daripada musibah-musibah agama, dan
bahwasanya ‘adzab dunia lebih ringan daripada ‘adzab akhirat, dan
bahwasanya musibah ini adalah sebab agar dihapuskannya dosa-dosanya, dan
kadang-kadang untuk menambah kebaikannya, maka dia bersyukur kepada
Allah atas musibah tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
مَا مِنْ مُصِيْبَةٍ تُصِيْبُ الْمُسْلِمَ إِلاَّّ كَفَّرَ اللهُ بِهَا عَنْهُ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا
“Tidaklah
suatu musibah menimpa seorang muslim kecuali Allah akan hapuskan
(dosanya) karena musibahnya tersebut, sampai pun duri yang menusuknya.” (HR. Al-Bukhariy no.5640 dan Muslim no.2572 dari ‘A`isyah)
مَا
يُصِيْبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ وَلاَ هَمٍّ وَلاَ حُزْنٍ
وَلاَ أَذًى وَلاَ غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلاَ كَفَّرَ
اللهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
“Tidaklah
seorang muslim ditimpa keletihan/kelelahan, sakit, sedih, duka,
gangguan ataupun gundah gulana sampai pun duri yang menusuknya kecuali
Allah akan hapuskan dengannya kesalahan-kesalahannya.” (HR. Al-Bukhariy no.5641, 5642 dari Abu Sa’id Al-Khudriy dan Abu Hurairah)
Bahkan kadang-kadang akan bertambahlah iman seseorang dengan musibah tersebut.
Bagaimana Mendapatkan Ketenangan?
Allah Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ
“Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya.” (At-Taghaabun:11)
Yang dimaksud dengan “beriman kepada Allah” dalam ayat ini adalah beriman kepada taqdir-Nya.
Firman-Nya:
“niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya” yaitu Allah akan
memberikan ketenangan kepadanya. Dan hal ini menunjukkan bahwasanya iman
itu berkaitan dengan hati, apabila hatinya mendapat petunjuk maka
anggota badannya pun akan mendapat petunjuk pula, berdasarkan sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ
فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلُحَتْ صَلُحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا
فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ
“Sesungguhnya
di dalam jasad terdapat segumpal daging, apabila baik maka akan baiklah
seluruh jasadnya dan apabila rusak maka akan rusaklah seluruh jasadnya,
ketahuilah segumpal daging itu adalah hati.” (HR. Al-Bukhariy no.52 dan Muslim no.1599 dari An-Nu’man bin Basyir)
Berkata ‘Alqamah (menafsirkan ayat di atas): “Yaitu
seseorang yang ditimpa suatu musibah lalu dia mengetahui bahwasanya
musibah tersebut dari sisi Allah maka dia pun ridha dan menerima
(berserah diri kepada-Nya).”
Tafsiran
‘Alqamah ini menunjukkan bahwasanya ridha terhadap taqdir Allah
merupakan konsekuensinya iman, karena sesungguhnya barangsiapa yang
beriman kepada Allah maka berarti dia mengetahui bahwasanya taqdir itu
dari Allah, sehingga dia ridha dan menerimanya. Maka apabila dia
mengetahui bahwasanya musibah itu dari Allah, akan tenang dan senanglah
hatinya dan karena inilah diantara penyebab terbesar seseorang merasakan
ketenangan dan kesenangan adalah beriman kepada qadha dan qadar.
Tanda Kebaikan & Kejelekan Seorang Hamba
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا
أَرَادَ اللهُ بِعَبْدِهِ الْخَيْرَ عَجَّلَ لَهُ الْعُقُوْبَةَ فِي
الدُّنْيَا وَإِذَا أَرَادَ اللهُ بِعَبْدِهِ الشَّرَّ أَمْسَكَ عَنْهُ
بِذَنْبِهِ حَتَّى يُوَافِيَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Apabila
Allah menginginkan kebaikan kepada hamba-Nya maka Allah akan
menyegerakan balasannya di dunia, dan apabila Allah menginginkan
kejelekan kepada hamba-Nya maka Allah akan menunda balasan dari dosanya,
sampai Allah sempurnakan balasannya di hari kiamat.” (HR. At-Tirmidziy no.2396 dari Anas bin Malik, lihat Ash-Shahiihah no.1220)
Dalam
hadits ini dijelaskan bahwa Allah menginginkan kebaikan dan kejelekan
kepada hamba-Nya. Akan tetapi kejelekan yang dimaksudkan di sini
bukanlah kepada dzatnya kejelekan tersebut berdasarkan sabda Rasulullah:
وَالشَّرُّ لَيْسَ إِلَيْكَ
“Dan kejelekan tidaklah disandarkan kepada-Mu.” (HR. Muslim no.771 dari ‘Ali bin Abi Thalib)
Maka
barangsiapa menginginkan kejelekan kepada dzatnya maka kejelekan itu
disandarkan kepadanya. Akan tetapi Allah menginginkan kejelekan karena
suatu hikmah sehingga jadilah hal itu sebagai kebaikan ditinjau dari
hikmah yang dikandungnya.
Sesungguhnya
seluruh perkara itu di tangan Allah ‘Azza wa Jalla dan berjalan sesuai
dengan kehendak-Nya karena Allah berfirman tentang diri-Nya:
إِنَّ رَبَّكَ فَعَّالٌ لِمَا يُرِيدُ
“Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki.” (Huud:107)
Dan juga Dia berfirman:
إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ
“Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.” (Al-Hajj:18)
Maka semua perkara itu di tangan Allah.
Dan
seseorang tidak akan lepas dari salah/keliru, berbuat maksiat dan
kurang dalam menunaikan kewajiban, maka apabila Allah menghendaki
kebaikan kepada hamba-Nya, akan Allah segerakan baginya balasan (dari
perbuatan dosanya) di dunia, apakah diuji dengan hartanya atau
keluarganya atau dirinya sendiri atau dengan seseorang yang menjadi
sebab adanya ujian-ujian tersebut.
Yang
jelas, dia akan disegerakan balasan (dari perbuatan dosanya). Karena
sesungguhnya balasan akibat perbuatan dosa dengan diuji pada hartanya,
keluarganya ataupun dirinya, itu akan menghapuskan kesalahan-kesalahan.
Maka apabila seorang hamba disegerakan balasannya dan Allah hapuskan
kesalahannya dengan hal itu, maka berarti Allah mencukupkan balasan
kepadanya dan hamba tersebut tidak mempunyai dosa lagi karena
dosa-dosanya telah dibersihkan dengan adanya musibah dan bencana yang
menimpanya.
Bahkan
kadang-kadang seseorang harus menanggung beratnya menghadapi sakaratul
maut karena adanya satu atau dua dosa yang dia miliki supaya terhapus
dosa-dosa tersebut, sehingga dia keluar dari dunia dalam keadaan bersih
dari dosa-dosa. Dan ini adalah suatu kenikmatan karena sesungguhnya
‘adzab dunia itu lebih ringan daripada ‘adzab akhirat.
Akan
tetapi apabila Allah menginginkan kejelekan kepada hamba-Nya maka akan
Allah biarkan dia dalam keadaan penuh kemaksiatan dan akan Allah
curahkan berbagai kenikmatan kepadanya dan Allah hindarkan malapetaka
darinya sampai dia menjadi orang yang sombong dan bangga dengan apa yang
Allah berikan kepadanya.
Dan
ketika itu dia akan menjumpai Rabbnya dalam keadaan bergelimang dengan
kesalahan dan dosa lalu dia pun di akhirat disiksa akibat dosa-dosanya
tersebut. Kita meminta kepada Allah keselamatan.
Maka
apabila engkau melihat seseorang yang nampak dengan kemaksiatan dan
telah Allah hindarkan dia dari musibah serta dituangkan kepadanya
berbagai kenikmatan maka ketahuilah bahwasanya Allah menginginkan
kejelekan kepadanya, karena Allah mengakhirkan balasan dari perbuatan
dosanya sampai dicukupkan balasannya pada hari kiamat.
Apabila Allah Mencintai Suatu Kaum
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
إِنَّ
عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلاَءِ وَإِنَّ اللهَ إِذَا أَحَبَّ
قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ
السُّخْطُ
“Sesungguhnya
besarnya balasan tergantung besarnya ujian, dan sesungguhnya Allah
Ta’ala apabila mencintai suatu kaum maka Allah akan menguji mereka
(dengan suatu musibah), maka barangsiapa yang ridha maka baginya
keridhaan (dari Allah) dan barangsiapa yang marah maka baginya kemarahan
(Allah).” (HR. At-Tirmidziy no.2396 dari Anas bin Malik, lihat Silsilah Ash-Shahiihah no.146)
“Sesungguhnya besarnya balasan tergantung besarnya ujian”
yakni semakin besar ujian, semakin besar pula balasannya. Maka cobaan
yang ringan balasannya pun ringan sedangkan cobaan yang besar/berat maka
pahalanya pun besar karena sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla mempunyai
keutamaan terhadap manusia. Apabila mereka ditimpa musibah yang berat
maka pahalanya pun besar dan apabila musibahnya ringan maka pahalanya
pun ringan.
“Dan
sesungguhnya Allah Ta’ala apabila mencintai suatu kaum maka Allah akan
menguji mereka” ini merupakan kabar gembira bagi orang beriman, apabila
ditimpa suatu musibah maka janganlah dia menyangka bahwa Allah
membencinya bahkan bisa jadi musibah ini sebagai tanda kecintaan Allah
kepada seorang hamba. Allah uji hamba tersebut dengan musibah-musibah,
apabila dia ridha, bersabar dan mengharap pahala kepada Allah atas
musibah tersebut maka baginya keridhaan (dari Allah), dan sebaliknya
apabila dia marah maka baginya kemarahan (Allah).
Dalam
hadits ini terdapat anjuran, pemberian semangat sekaligus perintah agar
manusia bersabar terhadap musibah-musibah yang menimpanya sehingga
ditulis/ditetapkan untuknya keridhaan dari Allah ‘Azza wa Jalla.
Wallaahul Muwaffiq.
Diringkas dari kitab Al-Qaulul Mufiid 2/41-44 dan Syarh Riyaadhush Shaalihiin 1/125-126 dengan beberapa perubahan.
Dikutip
dari Slafy.or.id offline dari Bulletin Al Wala’ wa Bara’, Edisi ke-6
Tahun ke-319 Dzul Qo’dah 1425 H. Judul asli Sabar terhadap Taqdir Allah.